Another Story of Ren Yeon Bab 1
Bab 1 Mimpi
& Tragedi
Song Eung
Kyong mengendap keluar ruang tidur, kemudian merogoh saku celana. Sengaja ia
mengintip sekilas ke arah kamar Ren Yeon, puterinya yang tengah berusia remaja.
Jarum jam di dinding sudah hampir menunjuk angka dua belas.
Istri dan
anak sulungnya pasti sudah terlelap. Jemari lelaki ini menekan deretan nomor
yang telah dihapal di luar kepala. Satu hal yang seharusnya tak dilakukan di
sini, mengingat tragedi yang nanti akan terjadi. Tetapi sebaris kabar yang
diterimanya tadi betul-betul membuat khawatir.
Putri
keduanya sudah tiga hari ini diserang demam. Ia terus mengigau memanggil
ayahnya. Song Eung Kyong memutuskan untuk segera melakukan panggilan di ponsel demi
menenangkan. Biasanya bila sudah mendengar suara sang ayah, dia baru akan
tertidur lelap. Meski telah terbiasa ditinggal untuk mengerjakan proyek di luar
kota. Tapi tetap saja jika beberapa hari tak bertemu, putrinya yang manja akan
sakit. Baru akan membaik sampai mereka berbincang panjang di telepon atau
segera pulang ke rumah dan bertemu.
Jang Youra
memang bukanlah anak kandungnya. Eung Kyong menikahi Kim Min Hwa, penerus
sebuah perusahaan besar di Daerah Industri Kaesong. Kota tempat Song Eung Kyong
memulai karir sebagai pegawai biasa. Saat itu Youra masih berusia tiga tahun,
gadis kecil itu sangat senang telah mendapatkan kembali sosok ayah yang telah
lama menghilang. Tentu saja hal ini dirahasiakan dari istri pertamanya. Selama
bertahun-tahun ia telah berhasil menjaga semua hingga tetap berlangsung
baik-baik saja.
Sementara Eun
Heeso tengah gelisah, sejak tadi berbaring di atas ranjang tetapi tak dapat
memejamkan mata. Sebentar-sebentar ia membalikkan badan karena rasa gerah, lalu
tiba-tiba berubah kedinginan. Kadang kesulitan bernapas, sesak disekitar dada
dan perut. Kehamilan kali ini memang membuat tubuh lebih ringkih. Mengandung
anak kedua setelah hampir empat belas tahun memupus harapan untuk diberikan
lagi keturunan. Usia yang tak lagi muda, membuat tubuhnya kerap terasa lemah.
Samar
terdengar suara suaminya tengah bercakap-cakap di telepon. Tampaknya
pembicaraan serius. Eun Heeso beranjak, memutuskan untuk menemani, lalu dia
langkahkan kaki ke dapur. Cuaca dingin seperti ini, akan terasa nikmat ditemani
segelas teh hangat sebelum tidur. Teh tubruk yang disiram dengan air yang
mendadak dijerang, kemudian ditambah dengan dua butir gula batu. Seketika aroma
wangi daun teh menyebar, menggambarkan rasa teh yang nikmat.
Suara Song
Eung Kyong terdengar kian lantang. Entah kenapa timbul rasa cemas di hati Eun
Heeso. Sambil mengangkat baki berisi dua cangkir teh panas, dia mendekati arah
suara sang suami. Mengaitkan rambut panjangnya ke balik telinga demi
meruncingkan pendengaran.
“Ne, Gong Ju
Nim, besok Appa pulang. Sekarang tidurlah, agar lekas sembuh.” Suara pria itu
tertahan, setengah berbisik.
Apa katanya?
Eun Heeso menyeret kaki untuk melangkah lebih dekat. Sebab tak percaya dengan
apa yang baru saja terdengar. Panggilan Gong Ju Nim (Tuan Puteri) biasanya
hanya ditujukan untuk Ren, Putri sulung mereka. Apa mungkin ia salah dengar, bisa
jadi tak seperti prasangkanya.
Namun,
semakin jelas terdengar rentetan, kalimat selanjutnya malah membuat limbung.
Seketika apa yang dipegang erat merosot ke lantai. Pecah berserakan.
Lelaki yang
tengah menggenggam ponsel itu segera membalikkan badan. Belum sempat membuka
mulut, Eun Heeso telah mencecar dengan puluhan pertanyaan. Tanpa berikan
kesempatan pada Song Eung Kyong untuk menjelaskan.
“Ternyata kau
memiliki istri lain? Jadi selama ini pekerjaanmu di daerah industri Kaesong hanya
alasan? Sudah berapa lama? Kenapa tega-teganya membohongi kami, salah apa aku?”
Nada suara tinggi tak terkendali, disusul teriakan hingga seakan menyobek
langit. Tengah malam yang semula senyap kini berubah gaduh.
Membuat Song
Ren Yeon tersentak seketika dari tidur lelap. Jantung berdegup cepat,
mengira-ngira apa yang tengah terjadi. Dia mengintip dari balik pintu kamar,
hanya dapat mematung saat melihat apa yang terjadi. Tubuhnya merosot ke lantai,
mencari kekuatan dengan memeluk dua lutut. Ketakutan, seumur hidup tak pernah
sekalipun melihat orang tuanya berdebat. Apalagi bertengkar sehebat ini.
Berbagai guci
keramik dan hiasan porselen kesayangan jadi sasaran Eun Heeso. Emosi yang
meledak membuat semua hancur berkeping keping. Sesak di dada tak juga hilang,
semakin keluarkan amarah justru jantungnya kian ngilu. Song Eung Kyong
merangkul bahu Eun Heeso, yang terus memukuli tubuh pria ini bertubi-tubi.
“Berhenti,
Yeobo, kumohon.”
Kata-kata
apapun yang dikeluarkan suaminya sama sekali tak dihiraukan. Membuat emosi
lelaki ini turut tersulut, suaranya berubah menggelegar. Kedua tangan kekar
berusaha menepis serangan Eun Heeso. Sampai kemudian tanpa sengaja mendorong
tubuh istrinya hingga terhempas ke lantai.
Benturan
keras membuat perempuan itu tergolek tak berdaya. Cairan kental merah genangi
lantai, Eun Heeso mengalami pendarahan. Di tengah kepanikan Song Eung Kyong
mencari kunci mobil. Benda kecil yang biasanya tergantung di dinding belakang
pintu mendadak raib. Bahkan dalam saku celana panjangnya pun tak ditemukan.
Ren merangkak
perlahan, mendekati tubuh sang ibu. Satu katapun tiada mampu terucap,
kerongkongannya seakan tercekik. Air mata berubah kristal, tak setitik pun
meleleh. Dia hanya mampu goyangkan lengan Eun Heeso perlahan. Berharap
perempuan ini membuka mata. Gadis muda ini semakin ketakutan demi melihat
ibunya yang bergeming. Begitu pun saat dibopong sang ayah ke dalam mobil.
“Cepat, Ren
Yeonnie!”
Kalimat
barusan sentakan kesadaran, sekilat gerak ia ikuti langkah sang ayah. Berbalut piyama
merah muda dan sandal tidur bergambar karakter kucing putih. Duduk menemani
perempuan yang begitu dicintai sambil terus membisikan doa tanpa melepaskan
pelukan. Memohon agar ibunya bisa bertahan.
Rambut lurus
sebatas pinggang miliknya kusut masai, hiasi wajah yang berubah sembab karena
tanpa sadar air mata tak berhenti berlinang. Kepalanya berisi begitu banyak
tanda tanya namun sama sekali tak berani bersuara hingga piikirannya kian
kalut.
Song Eung
Kyong melesatkan mobil menuju rumah sakit. Sesekali mengintip lewat kaca spion
di bagian tengah. Terenyuh melihat dua perempuan yang ia kasihi tengah terluka,
menderita gara-gara kecerobohan yang bertahun-tahun terjaga dengan baik.
Senyum hangat
yang selalu hiasi paras puteri sulungnya menghilang. Wajah dengan kulit kuning
langsat berubah pasi, sama dengan paras sang ibu yang telah kehilangan rona.
Mereka memang bagai pinang dibelah dua.Kelopak mata berbulu lentik dengan binar
manik coklat menghiasi kedua mata sabit mereka. Hidung mancung bertengger di antara
pipi bulat yang memiliki dekik, tampak indah saat bibir ranumnya tersenyum.
Hanya satu
pertanyaan yang saat ini gelayuti pria dengan usia di penghujung tiga puluhan
itu. Dapatkah istri dan juga anaknya memberikan maaf? Hingga keharmonisan
keluarga mereka tetap terjaga, bahkan lebih jauh lagi menyatukan dua keluarga
kecil yang dia miliki.
Song Eung
Kyong kembali fokus pada kendali mobil. Tengah malam begini, jalanan di wilayah
timur Kumgang San hampir selalu lengang, sehingga tak memakan waktu lama untuk
sampai di rumah sakit. Petugas medis Unit Gawat Darurat segera memberikan
penanganan pada Eun Heeso. Mereka membawanya ke ruang tindakan, seraya meminta
Song Eung Kyong dan Ren Yeon untuk menunggu di luar.
Lelaki ini
hempaskan tubuh di kursi ruang tunggu. Berkali-kali mengusap wajah, meski tak
nampak berkeringat. Ren Yeon memilih duduk di kursi bagian ujung, berjauhan
dengan sang ayah. Sesekali melirik sosok di sebelahnya dengan tatapan penuh
kemarahan. Sengaja membiarkan riak rambutnya tergerai menutupi wajah. Song Eung
Kyong perlahan bergeser mendekati putrinya. Meraih pundak Ren Yeon, hendak
menyibakkan rambut kecoklatan miliknya tapi gadis ini mengelak. Dan malah
membuang muka.
“Gong Ju Nim,
dengar ....”
Kalimat
barusan terhenti karena seorang suster meminta Song Eung Kyong untuk menemui
dokter di dalam ruangan. Pihak rumah sakit memerlukan tanda tangan Song Eung
Kyong sebagai keluarga terdekat Eun Heeso. Janin dalam tubuhnya harus
dikeluarkan, tak dapat terselamatkan.
Tangis Ren
Yeon tumpah seketika, tersedu sampai akhirnya sesenggukan. Tak peduli dengan
keadaan sekitar, sesak yang sejak tadi penuhi dada perlahan terasa longgar.
Mengiringi hadirnya rasa yang teramat tidak menyenangkan. Seakan terdengar
suara berderak dari dalam dada, patah hati untuk pertama kali. Kecewa yang
teramat sangat bercampur dengan kemarahan.
Sejak kecil,
dia hanya mengenal kata bahagia. Dimanjakan oleh ayah dan ibu. Tak sekali pun
mereka membiarkan putrinya kecewa. Apa yang dia inginkan dengan cepat dan mudah
segera didapatkan. Semua perhatian dan kasih sayang tumpah hanya untuknya.
Seumpama hidup dalam istana sebagai putri raja.
Song Eung
Kyong adalah sosok ayah sempurna di mata Ren Yeon. Menjadi panutan dan gambaran
sosok pendamping di masa depan. Sekarang sosok ini telah mengkhianati
kepercayaannya. Juga memporak porandakan istana indah milik mereka. Membuat
remaja putri ini patah hati, goreskan perih teramat sangat sehingga tak mungkin
Ren memaafkan ayahnya.
Selama tiga
hari Eun Heeso belum juga siuman, beberapa labu darah telah disuntikkan untuk
gantikan kehilangan akibat pendarahan hebat. Jarum-jarum penghubung selang
cairan infus masih menancap, sebagai obat pemulihan pasca Spontaneous abortion.
Sepasang ayah
dan anak yang semakin menampakkan kekakuan masih masih saling mendiamkan tanpa
sepotong pembicaraan pun. Hanya sesekali terdengar suara Song Eung Kyong
memaksa puterinya untuk makan. Tetapi hanya dijawab dengan gelengan oleh Ren.
“Nanti kamu
sakit, Ren-ah. Jangan mempersulit keadaan.” Putrinya mendelik mengarahkan
tatapan tajam yang menantang. Membuat Song Eung Kyong akhirnya memilih diam,
demi hindari perselisihan.
Eun Heeso
mulai menampakan tanda-tanda kesadaran. Kondisi fisiknya sudah hampir pulih,
namun jiwa di dalamnya masih sangat rapuh. Kedua kelopak mata terbuka perlahan,
sosok pertama yang dia lihat membangkitkan kembali emosi yang beberapa hari
lalu terkubur paksa.
“Jangan
pernah menyentuh aku lagi!” Perempuan ini berteriak histeris, kedua tangan
spontan mencabuti selang oksigen dan jarum cairan infus yang menempel di
tangan. Hendak larikan diri dari wajah yang begitu ia benci.
“Maafkan aku,
Yeobo. Berikan kesempatan untuk perbaiki semua,” pinta Song Eung Kyong dengan
suara lirih, tergambar sesal mendalam pada paras tegasnya.
“Tidak perlu
memanggilku seperti itu lagi. Tinggalkan kami, biarkan aku hidup bersama Ren
dan adiknya yang sebentar lagi akan lahir. Jangan sampai dia tahu kalau ayahnya
adalah seorang pecundang. Kau akan kami anggap sudah mati.”
“Tapi Istriku,
aku mohon dengarkan sekali lagi. Kita sudah kehilangan calon bayi kita. Dokter
sudah melakukan...”
“Maksud kamu
apa?”
“Eomma adik
bayi sudah ada di surga, menunggu kita,” tak kuasa menahan, Ren Yeon lelehkan
aliran luka di rautnya.
“Kamu
pembunuh, Song Eung Kyong. Pembunuh!”
Eun Heeso tak
henti berteriak histeris, terpaksa dokter menyuntikkan obat penenang. Jiwa
perempuan ini berubah tidak stabil. Pihak rumah sakit telah memberikan diagnosa
bahwa kejiwaan pasien terguncang sehingga ia mengalami depresi akut. Hal ini
berlangsung terus menerus, bahkan sampai ia sepenuhnya pulih dan kembali ke
rumah. Eun Heeso masih saja tidak dapat menerima kenyataan yang telah menimpa
keluarganya.
Sunyi. Begitu
dunia milik mereka sekarang, runtuh sudah istana yang dulu penuh tawa meriah.
Dan semua itu telah berlangsung selama tiga tahun. Namun keadaan Eun Heeso tak
juga terlihat membaik. Berbagai pengobatan dari dokter spesialis jiwa telah
dilakukan. Tak ada hasil sama sekali. Dia seakan berada di dunia milik sendiri,
dengan dinding tebal dan tinggi tanpa seorang pun dapat menembus.
Sementara Ren
Yeon tak pernah lagi mau berbicara pada Song Eung Kyong. Dia mulai menentang
dan memberontak pada apapun yang dikatakan ayahnya. Song Eung Kyong semakin
terpojok, sampai akhirnya tak lagi menemukan kenyamanan.
Berkali-kali
pula ia memberikan Ren Yeon pengertian agar setuju untuk menitipkan Eun Heeso
di rumah sakit jiwa.
“Aku tidak
mau tinggal bersama perempuan itu!”
“Tapi dia
perempuan yang baik, Ren. Kamu hanya perlu mengenalnya lebih dekat. Ada Youra di
sana, pasti dia senang bisa tinggal bersama kakak perempuannya.”
“Bukan, dia
bukan siapa-siapa aku. Bukan ibu, bukan ibu tiri. Cuma perempuan yang merebut Appa
dari kami...” sekuat tenaga ia menahan tangis, “bukan perempuan baik jika
sanggup merebut suami orang dan menghancurkan keluarga lain.”
“Ren Yeon
....” Telapak tangan Song Eung Kyong melayang, mendarat tepat di bibir anak
gadisnya.
“Pukul lagi Appa,
pukul! atau jika suka, Appa boleh bunuh aku, sama seperti yang ayah lakukan
pada adik,” gadis ini tercekat, luka kembali menganga.
Song Eung
Kyong mengepalkan tangan. Tanpa sepatah pun kata maaf, lelaki ini pergi, tak
lagi menoleh ke belakang. Tidak terusik dengan kata-kata yang meluncur dari
mulut Ren Yeon. Apalagi sekedar mengintip Eun Heeso dalam kamar. Derum mobil
mulai terdengar menjauhi pekarangan rumah.
Ren Yeon
mengejar keluar, memandang lekat sosok Ayah yang kini kian menjauh. Ingin
sebenarnya berlari mengejar, untuk kemudian berlutut, memohon agar pria ini tak
meninggalkan. Namun, dia pantang terlihat kalah. Bahkan buliran kristal yang
menggenangi pelupuk mata dibendung sekuat tenaga. Ren Yeon tak akan pernah
menangis dihadapan siapa pun. Batinnya. Kemudian membawa langkah menjauh dari
sosok Ayah yang telah menghilang di balik persimpangan jalan. Berjalan dengan
tegar, sendirian.
****
Komentar
Posting Komentar