Another Story of Ren Yeon Bab 4 Part 2


 Seringkali Hidup Berjalan Tidak Seperti yang Kita Mau

Pertemuan demi pertemuan diisi oleh Oppa dan Adik Kecilnya, dengan saling bertukar cerita. Tiada lagi tangis kesedihan, hilang sudah teriakan kemarahan. Keceriaan kini mengisi hari-hari Oppa dan Adik Kecil berdua. Mengikis segala kesulitan yang sebelumnya menjadi beban. Sahabat, ada, memang untuk itu bukan? Menghapus duka, menggantikan dengan bahagia.

“Oppa, apa ibumu suka membacakan dongeng?”

“Iya, setiap malam sebelum aku tidur,” mata anak muda tersebut menerawang jauh, “dongeng tentang peri tanpa sayap yang berada di kerajaan awan.”

Sejenak kedua bola mata anak lelaki itu berkaca-kaca. “Namun, sekarang ibuku telah pergi untuk selamanya. Mengapa orang yang berhati baik selalu dipanggil lebih cepat?”

“Karena Tuhan menyayangi mereka,” jawab Ren polos.

“Berarti Dia membenci kita kan? Karena itulah aku selalu marah, tak pernah mau menyapa-Nya lagi.”

Suara selembut hembusan angin itu berubah menakutkan. Bergetar menahan amarah.

“Seharusnya Oppa bersyukur. Tuhan masih memberikan kesempatan untuk merasakan kasih sayang seorang ibu,” Ren meninggikan suara, “bayangkan seseorang yang sejak lahir tak pernah melihat sosok ibunya. Atau seseorang yang memiliki ibu tetapi tak dapat saling berkomunikasi,” suaranya berubah lirih.

“Mianhaeyo, Adik Kecil, jangan marah,” pintanya tulus.

“Sebagai hukuman, Oppa harus menceritakan padaku semua dongeng dari ibumu,” tukas Ren.

“Baiklah Adik Kecil, aku akan menceritakan untukmu dengan senang hati,” sambut Oppa riang, “Asalkan jangan pernah cemberut seperti itu lagi. Kau tampak jelek saat merenggut.”

 “Oppa menggodaku,” Ren memekik. Disambung cekikikan kompak mereka.

Dongeng demi dongeng dikisahkan setiap mereka berjumpa. Sambil merebahkan tubuh di atas hamparan rerumputan yang lembut. Seraya memandang langit kebiruan berpita awan putih. Mengiringi pergantian hari, serta kebersamaan mereka.

“Setiap hari, selalu aku yang mendongeng. Kapan giliranmu? Adik Kecil.”

Ren menggaruk kepala. Mencoba meraba jejak ingatan masa kecil.

“Seingatku, Eomma tak pernah mendongeng. Terutama beberapa tahun belakangan ini. Dia lebih banyak diam. Kadang membuatku ingin berteriak di hadapannya. Atau meraung-raung dengan kencang.” Kenangnya sembari mencari lintasan gambaran kejadian manis dan indah. Sisa-sisa masa kecilnya.

“Adik Kecil, seharusnya kau bersyukur. Tuhan masih memberikanmu kesempatan untuk hidup bersama ibu hingga saat ini. Bayangkan seseorang yang sudah tak memiliki ibu lagi. Padahal sosoknya sangat kita butuhkan,” ujarnya sambil menatap Ren lembut.

“Oppa...” dia menunduk dalam, “mianhaeyo ne,” sesalnya sambil ucapkan maaf. “Aku ingat, Eomma pernah bercerita, tentang indahnya festival musim semi di Pyongyang,” tutur gadis ini, sambil menarik napas panjang, “setiap bulan Juni, seperti sekarang.”

“Aku pernah datang ke festival bunga, bersama Ayah dan Ibu. Di Pyongyang dipamerkan sejenis anggrek cantik kesukaan Eommaku.”

Kedua mata Ren berbinar, “Apakah Pyongyang, jauh dari sini?”

“Tentu saja jauh. Tak akan bisa sampai jika kita memakai sepeda. Apalagi berjalan kaki,” jawabnya sambil menyeringai, memamerkan gigi depan yang berbaris rapi. Berkilau.

“Kapan aku bisa ke sana ya ... “ cetus gadis berambut panjang ini, sambil memainkan ujung rambut.

Melukiskan keindahan suasana festival musim semi sambil membayangkan binar mata ibu saat bercerita. Serta gurat bahagia di raut wajahnya, meskipun sebagian besar menghambur dari ingatan.

“Mungkin nanti bila kita sudah dewasa. Saat kita bisa pergi sendirian ke mana saja, sesuka hati. Tapi pasti masih lama sekali, ya.”

Anak lelaki itu menerawang jauh ke masa depan. Berandai tentang saat segala kewajiban serta aturan ketat dari ayah. Tak lagi mengikat dan membebaninya.

“Andai saja, di desa ini ada festival musim semi,” harap Ren.

 “Tentu saja bisa. Aku akan membuatnya di sini,” pria kecil itu mendadak bersemangat.

Dia begitu ingin mewujudkan impian sang Adik Kecil sehingga mereka dapat memiliki kenangan indah untuk dibawa ke masa depan.

“Benarkah, Oppa. Kau bisa membuat festival musim semi?”

Gadis kecil ini melonjak tak sabar. Ingin segera melihat festival musim semi, milik mereka berdua.

“Iya. Aku berjanji,” ucapnya sungguh-sungguh.

“Baiklah, kalau begitu, aku akan membuat kue. Sebagai bekal piknik musim semi kita.”

“Setuju. Dan aku pasti akan menghabiskan kue buatan Adik Kecilku.”

***

Sejak hari itu berlalu, mereka berdua sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk mewujudkan rencana. Agar semua berjalan seperti yang mereka inginkan, sederhana namun penuh keindahan.

Berhari-hari Ren gelisah. Tak sabar menanti festival bunga milik mereka berdua. Membayangkan betapa indah dan meriah, festival musim semi.

Ren Yeon kecil memandangi bunga yang setiap hari mampir di jendela mereka.

“Aku jadi penasaran Imo. Kenapa orang ini selalu memberikan bunga untuk Eomma,” terawang Ren, jari telunjuknya memainkan kuntum bunga ini.

“Bibi punya ide, Ren,” tukas Kim Jae, “Bagaimana bila sebelum berangkat sekolah, kau mengintip dari dalam rumah.”

“Usul yang bagus, Imo. Aku akan melakukannya besok,” cetus Ren riang, “Dan tentu saja, aku akan mengucapkan terima kasih.”

Disambut senyum lebar Bibi Jae. Wanita ini menyayangi tetangga kecilnya, seperti anak sendiri. Meskipun tak pernah benar-benar merasakan menjadi seorang ibu. Karena selama bertahun-tahun menikah, belum juga diberikan keturunan.

Musim semi sebentar lagi berganti. Dan di waktu seperti ini, mentari terlihat lebih indah. Sinarnya memancar lebih lembut. Ren memandang gusar jam yang menempel di dinding.

“Annyeong Haseyo, Ahjumma,” sapa sebuah suara, sehalus dentingan piano.

“Itu dia,” pekik Ren dalam hati, tanpa keberanian untuk menampakkan diri. Dia lebih memilih bersembunyi di balik pintu kamar.

“Hari ini, saya memetik bunga yang paling cantik untuk Bibi. Baru saja mekar tadi malam,” matanya berkaca-kaca namun tetap memaksa tersenyum lebar.

Perempuan yang ia panggil bibi, bergeming. Namun, dia telah tahu, akan selalu begitu.

 “Mungkin ini hari terakhir saya membawakan bunga,” ucapnya lirih, “tapi jangan khawatir, saya akan menemui Bibi secepatnya dan membawakan lagi bunga-bunga cantik setiap hari.”

Ren segera berlari keluar rumah. Untuk mengucapkan terima kasih. Namun, terlambat. Si pemberi bunga sudah menghilang, tanpa sempat dilihat.

###

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Another Story of Ren Yeon Bab 1

Another Story of Ren Yeon Bab2 Part 3