Jungkir Balik Dunia Lara
Seingatku ini adalah kepindahan yang ke tiga kali di tahun ini. Sungguh melelahkan sebetulnya, harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru. Juga bertemu macam-macam karakter manusia. Bagiku semua orang asing sama, mereka hanya akan menatap dengan aneh. Belum lagi tak sedikit yang mengolok-olok dengan kalimat menyakitkan.
Semua terjadi semenjak aku kehilangan granny, nenek yang sangat
menyayangiku. Lalu aku harus ikut Paman Larry, dia adalah adik ibuku. Aku tak
ingat banyak seperti apa wajah mommy, tapi konon mereka serupa, mata dan warna
rambut yang coklat serta berkulit terang. Sungguh jauh berbeda denganku.
Aku sudah mencoba merengek pada Paman Larry agar kami tak usah
pindah. Namun, dia tetap bersikukuh pada keputusannya, apapun yang terjadi. “Demi
keselamatanmu, Lara,” paman selalu mengatakan seperti itu. Apalagi kali ini ia
memilih kota kecil di bagian selatan Quebec City. Berharap mereka akan sedikit
lebih ramah daripada orang-orang yang tinggal di kota besar.
Mengemas barang-barang ke dalam kardus bukanlah hal sulit bagiku. Aku cuma harus memusatkan pikiran pada benda
tertentu dengan konsentrasi penuh. Lalu semudah menjentikkan jari, satu persatu
dari mereka berpindah. Tanpa menyentuh,
melayang dan masuk dengan mulus ke dalam kardus.
Paman Larry pernah menjelaskan, bahwa itu adalah kekuatan
Telekinesis atau Psikokinesis. Sudah kumiliki sejak lahir, diturunkan dari gen
ayah dan ibu. Namun, ia selalu melarang untuk menggunakan kekuatan itu, apalagi
di depan umum. Bila sudah begitu aku hanya mengangguk-angguk saja, tanpa paham
apa maksudnya.
“Sampai kamu berlatih untuk
mengendalikan dan menyempurnakan kekuatanmu Lara, demi keselamatnmu!” jawab Paman
Larry setiap aku tanyakan sampai kapan harus menyembunyikan kekuatan ini.
Bukankah aku akan terlihat keren kalau teman-teman tahu hal ini.
“Keselamatan apa? Paman
selalu berbicara tentang keselamatan. Aku tidak merasa sedang dalam bahaya.”
“Kamu tidak pernah tahu
bahaya apa yang ada di sekitar kita, enough! Bereskan barang-barangmu sekarang,
Young Lady.”
Senja yang teduh, angin bertiup semilir menabrak wajahku yang tersembul
dari jendela. Paman Larry mengemudikan mobil dengan santai, rambut bergelombang
yang disisir rapi ke belakang, tampak tak berubah meskipun tertiup angina.
Matanya mengawssi jalanan sambil sesekali melirik ke arahku yang sedang menikmati
perjalanan kali ini. Pelataran padang rumput yang dipagari kayu serta beberapa
kawanan sapi yang sedang merumput.
Namun, tiba-tiba paman menginjak rem, mobil terhenti disertai
bunyi decitan. Sontak aku memalingkan wajah ke arahnya.
“Kenapa tiba-tiba berhenti?” Seekor anak sapi melenguh panik,
seakan terkejut karena tiba-tiba saja berada di tengah jalan.
“Kamu melakukannya, kan Lara? Memindahkan anak sapi itu ke
jalan?" selidik Paman Larry, "Lara, aku sudah bilang, jangan menggunakan
kekuatanmu. Ini membahayakan kita dan juga sapi itu, bagaimana kalau jalanan
ini sedang ramai? Kita akan membahayakan orang lain juga kan?”
“Aku tidak tahu apa-apa, Paman. Tidak memindahkan anak sapi itu,”
Lara berusaha menjelaskan.
“Lalu bagaimana anak sapi itu bisa sampai disini Lara? Kamu lihat
saja padang rumput itu diberi pagar kayu yang cukup tinggi.”
Paman Larry segera menepikan mobil, aku membuntuti dari belakang.
Lalu kami mendorong anak sapi ini agar menepi.
“Aku tadi cuma berpikir, kalau anak sapi yang sedang menyusu ini
terlihat sangat lucu. Seandainya aku bisa mengelus-elus,” rambut yang
menyelimuti tubuh anak sapi itu begitu lembut, dan ia menurut saja saat aku
menuntunnya ke dekat pagar.
“Berarti mulai sekarang kamu harus berhati-hati dengan pikiranmu.
Lihat, sekarang kamu bisa memindahkan benda sebesar ini hanya dengan
memikirkannya.” Paman Larry menghela napas panjang, ”Sekarang kembalikan anak
sapi ini ke tempat induknya berada!”.
“Caranya bagaimana? Aku tidak bisa Paman.”
“Harus bisa, tadi kamu bisa memindahkan kesini,”dari raut wajah Paman Larry terlihat benar kalau
dia begitu panik.
Aku mencoba konsentrasi pada anak sapi itu, fokus Lara, fokus.
Tapi sekuat apapun mencoba, anak sapi itu tidak bergerak sama sekali. Paman Larry
mengedarkan pandangan ke segala arah, mungkin takut ada orang yang melihatku menggunakan
kekuatan.
Tak dinyana datang seorang bapak tua dari arah padang rumput, tampak
mulutnya komat kamit, memarahi anak sapi yang kabur. Paman dan aku tersenyum
lega, seraya memikirkan bagaimana cara bapak tua membawa kembali anak sapi melewati
pagar kayu yang tinggi itu.
Paman kembali mengemudikan mobilnya, menambah laju hingga dua kali
lipat agar lekas sampai di tempat tujuan. Kami berdua terlarut dalam pikiran
masing-masing, tidak saling berbicara sepatah kata pun. Mungkin Paman
memikirkan kekuatanku yang tanpa disadari, semakin bertambah. Sementara aku sibuk
membayangkan seperti apakah orang-orang asing yang nanti akan ditemui.
Kami tiba saat hari sudah gelap, Paman Larry langsung membuka
pintu sebuah rumah yang tak terlalu besar. Aku memasuki ruangan dengan lunglai
dan langsung menghempaskan tubuh di sofa. Sedabgkan Paman Larry sibuk mondar-mandir
memasukkan barang dari mobil ke dalam rumah.
Sinar matahari yang cerah menyambut pagi pertama kami di sini.
Untunglah ini hari minggu sehingga aku bisa beristirahat sebelum memulai
aktifitas bersekolah. Kamarku terletak di lantai dua, cukup luas dan nyaman
tapi masih berantakan. Baru sebagian barang yang dikeluarkan dari dalam kardus.
Beberapa pakaian masih berserakan di atas tempat tidur.
Aku menyembulkan kepala lewat jendela yang dibuka lebar-lebar. Gunung-gunung
berbaris rapi, hawa sejuk seketika masuk. Kuhirup napas dalam-dalam, agar
paru-paruku yang seharian kemarin menghirup asap kendaraan dapat kembali
bersih. Kemudian menutup mata sambil merentangkan tangan.
Sesaat setelah membuka mata, aku melihat pohon apel berbuah ranum,
tepat di depan jendela kamar. Seandainya aku dapat memetik pohon apel itu, gumamnya.
Dalam sekedip mata, tiba-tiba saja beberapa buah apel melesat masuk ke dalam
kamar, dua di antaranya sempat mengenai kepala. Sampai aku terjatuh saat mencoba
menangkisnya dengan lengan. Hingga terdengar bunyi gedebuk di lantai yang
terbuat dari papan ini. Diakhiri suara mengaduh dari mulutku.
Terdengar langkah Paman Larry yang tergesa menaiki tangga. Lalu menyerbu masuk ke dalam kamar, ”Ada apa, Lara?”
ia berseru, sambil mengetuk pintu beberapa kali, “Lara?”
“Paman, aku … emhh, apel ini … .”
Sebelah tangan membuka pintu dan tangan satunya mengusap kepala
seraya memasang tampang merengut.
“Bukankah sudah Paman bilang, Young Lady, hati-hati dengan
kekuatanmu, juga pikiranmu,” suaranya sedikit membentak dan membuatku
terperanjat.
“Maaf, tapi aku … .”
“Paman tidak mau tahu, sekarang rapikan kamarmu, tanpa kekuatan
apapun!” ia kembali menegaskan.
“Baiklah, ” aku menyeret langkah sambil meringis kesakitan.
Paman Larry keluar dari kamar sambil meggeleng-gelengkan
kepalanya, ”Oh ya, tutup jendela kamarmu!”
“Iya Paman, ” aku mengacungkan jari dan daun jendela pun menutup
kencang.
“Laraaaa … !” terdengar teriakan paman yang lebih kencang, sambil
berjalan menuruni tangga.
Aku terkekeh, lalu merebahkan tubuh di tempat tidur. Lebih memilih
mendengarkan musik dari i-pod melalui headset daripada meneruskan berkemas.
Tentu saja sambil menggerogoti buah apel yang warnanya merah merona, rasanya manis
sekali.
Alarm di ponsel berbunyi berkali-kali, kubekap wajah dengan
bantal. Aku benci hari senin, sebeturlnya malas sekali bangun dan berangkat ke
sekolah. Tetapi paman sudah mengetuk pintu kamar memintaku segera bersiap agar
tidak telat datang ke sekolah.
Sarapan yang dia sediakan meskipun cukup menggugah selera hanya
aku aduk-aduk. Bibirku mengerucut sepanjang jalan menuju sekolah. Paman Larry
mengantar hingga ke gerbang, dengan sangat sangat terpaksa, aku memaksakan diri menyeret langkah.
“Be nice my young lady,” ucapan Paman tak aku hiraukan sedikit
pun.
Tak sulit bagiku mencari ruangan kepala sekolah untuk melapor.
Seorang laki-laki yang memiliki kumis tebal beruban. Begitu pun rambut yang ia
sembunyikan di balik topi fedora abu-abu tua yang ia kenakan. Membuatku merasa
berada di abad pertengahan.
Kepala sekolah memanggil Mrs Margaretha, ia adalah wali kelasku.
Pakaian yang dikenakannya sama-sama klasik. Rok yang menutupi lutut dan mini
blazer warta biru tua. Heels yang terlalu tinggi, menurutku, ia jalan
terseok-seok.
“Nama teman baru kalian ini Lara, ” Mrs Margaretha mengenalkan aku
di depan kelas, “Lara Brown.” Sebenarnya itu bukan nama belakang asliku, kami selalu
mengganti identitas setiap kali berpindah kota.
“Lihat, matanya berwarna abu-abu,” mereka mulai berbisik-bisik,
dan menyangka aku tak dapat mendengarnya.
“Rambutnya merah, seperti warna rambut jagung di ladang kakekku,”
cetus yang lain, “apa dia punya selera buruk dalam mewarnai rambut?” Teman-temannya
cekikikan, mudah ditebak, mereka pasti geng gadis popular di sekolah.
"Alien ... alien," celetuk mereka bersahutan.
Aku menunduk dalam, benar kan. Selalu sama, selalu terulang.
Sontak aku melirik ke spidol yang tergeletak di meja wali kelas. Lalu
mengalihkan pandangan ke salah satu siswi yang mengatakan alien tadi. Spidol
itu melesat bagai peluru dan menghantam keningnya, lalu terdengar teriakan
mengaduh dan rengekan panjang.
Sambil tetap memasang raut datar dalam hati aku tersenyum, lalu
bergantian pulpen, penghapus dan berbagai benda yang ada di atas meja
beterbangan. Melesat ke berbagai arah mengenai pada hampir seluruh anak dalam
kelas. Kecuali tiga murid yang sejak awal duduk paling belakang dan tak
mengeluarkan sepatah kata pun. Sementara yang lain berhamburan keluar sambil
berteriak-teriak dengan panik. Hanya kami yang tertinggal dan aku masih
tertunduk sambil menahan tawa. Seakan tak tahu apa-apa. [Awg]
###
Komentar
Posting Komentar