Akira's Matsuri Journey of Love

Sinopsis

Jepang merupakan salah satu negeri yang masih memegang teguh tradisi. Salah satunya adalah matsuri atau perayaan tradisional, berbagai festival meriah diadakan setiap bulan. Setiap keluarga di Jepang menyambut dengan antusias.

Akira adalah seorang gadis lajang berusia hampir 27 tahun. Kedua orangtuanya, Sasuke Itsuka dan Sakura Itsuka, sudah sangat mengidamkan cucu, mereka menginginkan agar Akira cepat menikah. Anak gadisnya ini berulang kali menolak pria yang dikenalkan sebagai calon suami. Sebab Akira Itsuka masih menyimpan perasaan terpendam pada seniornya sewaktu di sekolah menengah.

Perempuan muda yang membuka usaha butik ini melalui bulan demi bulan dengan berbagai perayaan. Sejak awal hangatnya musim semi hingga gigil di musim dingin. Sahabatnya sejak SMU Kenji dan Ayumi, selalu menyertai kehidupan Akira. Mereka berdualah tempat menumpahkan keluh kesah juga rasa bahagianya  tentang hubungan dengan Akasuke.

Tanpa disangka, Akira bertemu kembali dengan Akasuke, benih-benih cinta kembali tumbuh dan berkembang dengan cepat. Selalu berharap, akan tiba saat di mana seniornya ini membalas cinta Akira dan melamarnya.

Sementara Kenji berharap agar Akira melupakan Akasuke dan Ayumi merasa Akira sudah tidak peduli lagi pada dirinya. Apa yang akan dilakukan Akira agar dia tak kehilangan sahabat sekaligus mendapatkan cinta Akasuke?



  Hinamatsuri, boneka pengantin Akira.

Ini adalah hari ke-3 di bulan Maret, di mana musim semi berawal. Kuntum-kuntum indah sakura mulai bermekaran, menyambut udara yang perlahan menghangat. Seluruh keluarga di Jepang akan berdoa, terutama bagi anak gadis mereka. Untuk memohon kesuksesan dan kehidupan bahagia. Perayaan spesial bagi seluruh gadis di Jepang. Festival untuk bernama Hinamatsuri.

Tuan dan nyonya Itsuka adalah orang yang paling bersemangat menyiapkan perayaan ini. Mereka merapikan ruang keluarga dan memajang Hina-ningyo di rak. Boneka ini disusun dalam tujuh rak berundak. Terdiri dari sepasang kaisar, tiga dayang, lima pemain musik, dua mentri dan tiga pelayan. Terhampar sehelai karpet merah sebagai alas. Pernak-pernik cantik disisipkan untuk menambah kemeriahan.

Hal ini dilakukan setiap tahun, meskipun anak gadisnya mulai menjelma wanita dewasa. Satu persatu boneka dilap dengan hati-hati, sambil menyanyikan lagu-lagu lawas, bersahutan. Sebagian besar adalah lagu kenangan sewaktu mereka berpacaran dulu.

“Suamiku, lihat. Akira kita pasti akan secantik ini saat menjadi pengantin nanti,” cetus nyonya Itsuka sambil menimang boneka ratu kaisar, “wajahnya sangat mirip dengan Akira, mata yang membentuk sabit ditambah hidung mungil yang mancung. Kulitnya pun sama, hampit seputih susu. Beruntung sewaktu aku hamil dulu selalu berdoa agar wajah anakku, serupa dengan wajah boneka ratu kaisar ini.”

Sambil merapikan ruangan nyonya Sakura Itsuka tak henti bercerita, ia mengenakan scraf bunga bunga untuk mencegah rambutnya yang hanya sebatas pundak, berantakan menutupi wajah.

“Aku akan membelikan gaun pengantin tradisional jepang terbaik,” timpal tuan Sasuke Itsuka, sambil sesekali membetulkan kacamata bulatnya yang melorot, “sehingga kita berdua akan menangis bahagia saat itu.”

Setelah rak Hina-ningyo tertata rapi, mereka kemudian mandi dan menukar pakaian dengan kimono. Tuan Sasuke masih saja menyisir rambut yang mulai dipenuhi helaian abu-abu meskipun usianya baru menginjak setengah abad. Sedangkan nyonya Itsuka sudah mulai menyiapkan berbagai hidangan spesial di meja. Resep masakan keluarga secara turun temurun, nasi kare dengan sayur dan daging berlimpah, mencium aroma rempah membuat siapapun tak sabar untuk melahap hingga tandas. Didampingi Umeboshi Onogiri, Takenoko Gohan dan berbagai penganan manis. Sepertinya, kira-kira sepuluh orang tamu, akan datang ke rumah itu.

“Tadaima,” terdengar suara seorang gadis memasuki rumah, dia meletakan alas kaki di rak sepatu kemudian masuk menuju ruang keluarga.

“Akira-chan. Anak gadis kesayanganku, ibu senang kau dapat pulang lebih cepat.”

Sakura memeluk anak gadis semata wayang, buah cinta pernikahan dengan Sasuke Itsuka.

“Tentu saja Okaa-san, aku kan memang anakmu satu-satunya,” timpal Akira sambil mencium pipi ibu.

“Ayo cepat mandi dulu, kemudian pakai yukata yang ibu sediakan di atas ranjangmu ya,” pinta nyonya Itsuka, sedikit memaksa.

“Oh, Okaa-san. Tidak-kah aku terlalu tua untuk acara semacam ini,” keluh Akira.

“Tentu saja tidak, ayah dan Ibu akan selalu mendoakanmu dan memperingati Hinamatsuri setiap tahun. Justru karena kau sudah menjadi gadis dewasa, dan di usiamu yang mendekati 27, kau belum juga menikah.”

Perayaan Hinamatsuri ini, akan selalu berakhir dengan semacam pembahasan tentang pernikahan sepanjang hari. Tentu saja, dengan senang hati Akira memilih­­__ mengalihkan pembicaraan.

“Otou-san, Anda terlihat tampan dengan hakama ini,” puji Akira, “pantas saja ibu tergila-gila padamu.”

“Tentu saja anakku, kau juga akan seperti ibumu bila memiliki suami setampan Ayah,” cetusnya, “tahun ini kami akan berdoa lebih sungguh-sungguh agar sebelum musim semi datang, seseorang akan melamarmu.”

Sasuke-san kembali  mengangkat pernikahan sebagai trending topik. Akira melesat ke kamar mandi di lantai dua, dengan sengaja dia menghabiskan waktu satu jam untuk membersihkan diri. Dan, satu jam lagi untuk memakai yukata merah mudanya. Kemudian berlama-lama menyisir rambutnya yang tergerai hingga batas pinggang. Meskipun kadang sangat mengganggu tapi dia tak berani memotong rambutnya, sebab ibu pasti akan marah, begitupun ayahnya. Sambil terus memikirkan alasan apa kira-kira yang bisa digunakan agar Akira bisa keluar dari rumah.

Sebenarnya tidak sampai selama itu, setidaknya itulah yang Akira harapkan. Namun, ia menghabiskan waktu hampir satu jam, nyonya Sakura Itsuka, beberapa kali berseru agar anaknya segera turun.

 “Akira-chan, jangan terlalu lama! Makan malamnya keburu dingin, kita kan harus berdoa sama-sama,” panggil nyonya Itsuka.

“Iya, Okaa-san.”

Gadis ini menuruni tangga satu persatu, kimono yang dikenakan sedikit menyulitkan. Membuat jarak dari ujung tangga ke meja makan terasa lebih jauh, satu keberuntungan baginya sebagai pengulur waktu.

“Lihat istriku, putri kita yang selalu cantik. Secantik pengantin putri kaisar jepang.”

Tuan Sasuke menyeka mata sipitnya berulang-ulang, mencegah genangan yang memenuhi kelopak meluncur jatuh.

“Sudahlah, Otou-san, tak perlu menangis, nanti gantengnya hilang,” seloroh Akira.

“Kami akan menjadi orang tua paling bahagia di seluruh Jepang, Akira. Saat kau menikah dengan lelaki yang akan membahagiakanmu. Dan kalian memberi kami cucu yang banyak,” timpal ibu.

Nyonya Itsuka berharap, mereka makan malam ditemani menantu dan enam orang cucu. Sehinggaia menyiapkan begitu banyak masakan, ternyata, tak ada seorang tamu pun tiba, saat mereka duduk di ruang makan. Bertiga saja, menyantap semeja penuh, hidangan istimewa Hinamatsuri kali ini. Seperti tahun-tahun lalu.

Banyak sekali sisa makanan yang belum disentuh. Terutama di atas piring Akira yang sedang tak begitu bernapsu untuk melahap sajian makan malam. Sibuk menghalau khayalan yang terlanjur bermain di pikiran, bahwa, dia akan memiliki enam anak.

Oh, tidak. Menakutkan. Batin Akira.

“Semoga tahun ini, anak perempuan kami segera menikah.”

Ucap Sasuke-san berulang-ulang. Sebenarnya bukan hanya saat perayaan Hinamatsuri dia melafalkan doa seperti itu. Tetapi setiap hari, pagi dan sore, sebelum tidur juga saat terbangun. Ketika hendak makan, bahkan setelahnya.

“Dan memberi kami enam orang cucu,” timpal istrinya.

Selama bertahun-tahun, ibu Akira telah merumuskan, siapa saja kelak nama cucu-cucunya. Serta mengkhayalkan seperti siapa wajah mereka, mirip dirinyakah? Atau mirip suaminya.

Bukankah, biasanya akan mirip orang tua mereka? Sudahlah biarkan saja.

Sementara Akira sendiri, bahkan tak dapat mengingat, berapa pria yang telah dia tolak. Orang tuanya mengenalkan dengan berbagai lelaki pilihan mereka. Selalu ada yang kurang, tidak ada kecocokan satu sama lain. Tak pernah ada yang cukup sempurna di matanya.

“Selama ini kau tak pernah membawa teman lelaki ke rumah. Apalagi mengenalkan seseorang sebagai pacar.”

Nyonya Itsuka terlampau khawatir, tak ingin Akira menjadi perawan seumur hidup. Atau yang lebih mengerikan, bila ternyata putri semata wayangnya tidak menyukai lawan jenis.

“Tapi aku sering membawa Kenji-kun kemari, bahkan, dia kerap datang sendiri tanpa diminta,” celetuknya di sela-sela kunyahan saat memakan Sakura Mochi Taiyaki, pancake berbentuk ikan, favoritnya. Bertabur butiran cokelat yang banyak, berpadu dengan isian pasta kacang merah hangat dan sakura mochi berwarna merah muda yang lembut.  Diakhiri dengan menyesap teh bunga sakura hangat.

“Siapa? Kenji. Dia tak termasuk hitungan! Lelaki itu hanya tertarik dengan balapan. Mungkin suatu saat dia akan menikahi motornya sendiri,” tolak tuan Itsuka, dimatanya Kenji bukanlah tipe menantu idaman. Lelaki ini dinilai tak akan mampu membahagiakan Akira kelak.

Hampir tengah malam saat Sasuke-san dan Sakura-sama mulai sibuk berdua, lelah membicarakan tema pernikahan putrinya. Ini berarti Akira terbebas dari obrolan yang sudah membuatnya bosan. Gadis ini segera mengganti yukata dengan kaos tidur dan celana yang nyaman, lalu menghempaskan diri di atas kasur. Meskipun ia tak hendak tidur, sebab ingatan melayang pada sesosok lelaki muda.

****

Hanami, Sakura Kembali Mekar di Hati Akira.

Setiap akhir Maret hingga awal Mei, masyarakat Jepang memiliki tradisi untuk menikmati mekarnya bunga sakura sebagai lambang kebahagiaan karena datangnya musim semi. Bersama keluarga, atau teman dekat, mereka berbondong-bondong mendatangi tempat di mana bunga sakura banyak tumbuh.  Sambil menggelar tikar di bawah pohon sakura yang sedang mekar, seraya menikmati bekal yang dimasak dan dibawa dari rumah.

Jumlah pengunjung ‘Ichi Maru Kyu’ (109) toserba, meningkat beberapa kali lipat saat mendekati perayaan Hanami. Mereka berbelanja untuk menyambut salah satu festival musim semi ini. Berburu pakaian model terbaru sesuai trend fashion yang tengah populer,  lengkap dengan tas serta sepatu sebagai pendukung penampilan atau berbagai pernak pernik cantik untuk diberikan sebagai hadiah.

‘Garaya  Butikku’ di toserba 109 Shibuya, merupakan tempat bagi Akira untuk mengisi aktifitasnya setiap hari. Awalnya, butik ini dikelola bersama keempat rekannya, namun, karena satu persatu dari mereka telah menikah dan mengutamakan mengurus keluarga. Maka, tinggal Akira saja yang masih datang setiap hari, untuk ikut mengawasi dan mengembangkan butik secara langsung.

Sejak pagi butik miliknya ini tak pernah lengang, pengunjung datang dan pergi silih berganti.

“Akira-san, giliranmu beristirahat,” cetus salah seorang pegawai butik.

Hai_terima kasih. Aku akan makan siang di taman Yoyogi saja.  Ittekimasu, ” dia berpamitan.

Perempuan ini bergegas melangkah keluar dari toserba. Sambil menjinjing tas bekal makan siangnya. Jarak antara toserba 109 ke taman Yoyogi tak begitu jauh, cukup berjalan kaki selama beberapa menit. Taman ini dipilih karena ingin menikmati suasana asri dan sejuk, setelah penat dengan berbagai pekerjaan.

Akira duduk di kursi taman, sebuah pohon besar yang rindang memayungi. Sekotak besar bento yang disiapkan nyonya Itsuka menjadi menu makan siang, hampir setiap hari. Masih lengkap dengan hiasan lobak senyum dan tulisan lucu dari wijen atau rumput laut. Sepertinya Sakura_sama masih menganggap anak gadisnya ini, masih kecil, padahal dia selalu bilang kalau Akira sekarang sudah dewasa.

“Akira-chan. Tunggu, jangan dihabiskan dulu. Aku kelaparan.”

Seorang pria muda lari tergesa sambil melambaikan tangan. Dia baru saja keluar dari sebuah toko aksesoris dan modifikasi motor sport. 

“Kenji-kun, bagaimana hasil balapan kemarin? Sukses?” Tanya Akira dengan riang.

“Aku kalah,” sesalnya, “tapi tetap menyenangkan.”

“Selalu begitu, kau ingat Pak Takeshi sering melemparmu dengan kapur saat kau tertidur di kelas,” timpal Akira, “tapi kau tak pernah jera untuk ikut balapan liar tengah malam. Sampai dikejar polisi kemudian terperosok ke parit...”

“Sudah, sudah, setidaknya sekarang aku jadi pembalap sungguhan.”

 “Kau terlalu sering begadang, Kenji. Lihat wajahmu pucat dan kantung matamu semakin menghitam.”

“Iya, iya,” tangkisnya datar, “kurang tidur, dan kelaparan. Itadakimasu,”

Tanpa menunggu aba-aba, Kenji Kobayashi langsung melahap bento dari tangan Akira. Membuat gadis ini seketika merasa kenyang, hanya karena melihat sahabatnya yang makan dengan sangat lahap dan penuh semangat.

***

Hari semakin sore namun, perputaran jarum jam terasa kian melambat. Kantuk mulai menyerang Akira yang tengah duduk menghadapi komputer di ruangan kantor butik. Sekat kaca tebal yang tembus pandang keluar sengaja dipilih agar dia bisa mengawasi situasi butik dari dalam.

Kedua kelopak mata hampir tertutup sempurna. Ketika tiba-tiba Akira menangkap sesosok pria yang sangat dikenalnya, kemudian dia bergegas membuka pintu kantor. Menghampiri tamu butiknya itu.

Konnichiwa, lama tak bertemu, Akasuke-Senpai,” seru Akira senang, “sedang mencari sesuatu? Mungkin aku bisa bantu. Mmm, aku adalah...”

“Akira-chan? Ohisashiburi desu,” jawabnya, “ogenki desuka? Kau semakin cantik ya, berbeda dengan Akira yang dulu.”

Pujian yang melambungkan sekeping hati Akira. Ternyata lelaki itu masih ingat dengan dirinya, membuat getar-getar halus yang selalu hadir bila dia berdekatan dengan pria itukembali terpanggil.

Hai_ genki desu. Bagaimana kabar Senpai? Anda juga terlihat semakin tampan,” benar-benar terlihat tampan dan begitu dewasa, batinnya. Setelah hampir tiga tahun tak berjumpa.

“Aku mencari pernik yang cantik. Untuk dijadikan kado, Akira-chan.”

Panggilan yang dirindukan seorang Akira. Senang sekali saat bibir pria ini melontarkan namanya.

“Untuk pacarmu, Senpai?” terbersit cemburu, namun segera disembunyikan, “sepasang kalung ini mungkin cocok, lihatlah, liontin berbentuk hati ini bisa dipisahkan dan disatukan.”

“Ah, kurasa tidak cocok, Akira-chan. Terlalu kekanakan,” tolaknya, “aku ingin sesuatu yang sederhana namun berkesan elegan.”

“Sebuah cincin?” Tawar Akira, diiringi rasa khawatir.

“Aku bukan ingin melamar seorang gadis, Akira-chan. Hanya ingin memberikan hadiah, untuk merayakan kedatangan musim semi.”

Lega. Berarti masih ada kesempatan, pikir Akira.

“Baiklah, bagaimana kalau parfum? Atau sehelai scraf indah ini?”

Lelaki itu tertegun sejenak, menimbang dalam pikirnya, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar. Sampai akhirnya  mendaratkan tatapan tepat di mata Akira.

Gadis itu sejak tadi tak melepaskan pandangan dari mata Akasuke yang indah. serta hidung mancungnya. Juga bibir tipis yang nyaris tak pernah kehilangan senyum. Meninggalkan jejak dua lesung pipit di pipi kanan dan kiri.

Akira Itsuka terkesiap, tak menyangka sepasang mata yang selalu membuatnya terhanyut itu menatapnya. Membuat dia bisa bercermin di sana.

“Bagaimana kalau kau yang memilih untuk aku. Akira-chan,” tembaknya, “apa pun itu, asal jangan kalung pasangan tadi.”

“Baiklah, Senpai,” sahutnya penuh semangat.

Kemudian gadis ini mengangkat tangan kanan ke atas pelipis. Dibalas dengan senyuman dan kedipan kedua mata Akasuke yang menggoda.

“Nah, Akasuke-kun. Kadonya telah selesai dibungkus,” ujar Akira sambil menyerahkan tentengan berisi kotak hadiah.

“Arigatou gozaimasu, Akira-chan.”

Akasuke membungkukan badan kemudian berpamitan. Dia melambaikan tangan sambil memamerkan senyum. Membuat gadis di hadapannya ini meleleh. Akira memang tak pernah pandai membungkus perasaan. Lihatlah, kedua pipi chabby-nya bersemu merah.

****

Stasiun Shibuya. 

Pukul 7 malam. Ruang tunggu kereta dipadati calon penumpang. Seakan mereka enggan membuang waktu, ingin segera tiba di rumah. Akira mengedarkan pandangan, mencari tempat duduk yang masih kosong. Tak satu pun tersisa, terpaksa dia harus berdiri saat menunggu kereta.

Di stasiun ini berdiri patung ‘Hatciko’ sebuah monumen untuk memperingati kesetiaan seekor anjing. Dia mendengar kisah ini dari Akasuke, meskipun sebelumnya, entah sudah berapa ratus kali ayah dan ibu menceritakan. Namun, saat meluncur dari bibir seorang Akasuke. Kisah ini menjadi teramat menarik, Akira tak pernah bosan mendengarkan kisah yang sama dari seniornya itu.

Setelah lulus dari sekolah menengah, keduanya kembali bertemu di perguruan tinggi yang sama. Meiji University. Mereka hampir setiap hari bertemu di stasiun shibuya untuk mencapai kampus. Bukan suatu kebetulan, sebenarnya. Akira sengaja mendaftar di kampus tempat Akasuke kuliah.

 Sapaan yang tiba-tiba terdengar, membuyarkan lamunan gadis ini.

“Akira-chan. Mudah-mudahan bukan suatu kebetulan kita bertemu kembali di sini. Ini pasti takdir, di saat aku memikirkan cara untuk menemuimu. Ternyata aku menemukanmu di sini.”

Tangan kanannya masih membawa tentengan yang tadi dia beli di butik. Berarti belum ada seseorang yang menerima hadiah tersebut.

“Senpai, bukankah Anda memiliki nomor ponselku? Kenapa satu hal semacam menemukanku jadi terlihat begitu sulit.”

Sebenarnya Akira hanya berusaha membelokan debar di hatinya, karena sejak dulu, kalimat yang keluar dari mulut sang senior selalu membuat dia ke-GR-an. Dan hal itu berbahaya, sebab selalu diakhiri dengan kekecewaan, menggoreskan luka di hatinya berkali-kali, maka dari itu  dia harus mencegah sejak dini.

“Eh, iya betul, kau memang pintar,” katanya sambil mengacak-ngacak rambut, bukan karena gatal, kebiasaan sejak dulu. Membuat dirinya semakin terlihat tampan, di mata Akira.

Masih sepuluh menit lagi, sebelum kereta jurusan Kanagawa tiba. Mereka berdua masih berdiri sambil berbincang-bincang. Bukan tentang Hatciko─mungkin kisah ini sudah hampir dilupakan Akasuke. Segelas kopi krim diberikan pada Akira, sementara dia sendiri memilih menyeruput kopi hitam.

“Ngomong-ngomong, Akira-chan. Apakah kau akan datang ke festival Hanami?”

“Bersama Ayah dan Ibu? Sepertinya tidak. Sudah beberapa tahun ini aku menghabiskan waktu di rumah saja atau berjalan-jalan di mall. Hanami tak terasa sedemikian menyenangkan, saat kau bukan lagi seorang gadis kecil. Akasuke-kun.”

“Kenapa kau tidak mengajak pacarmu saja, Akira. Siapa ya, namanya. Kenji kan?”

“Apa? Kenji. Dia bukan pacarku dan tak pernah jadi pacarku.”

Akira meluruskan, lebih disebabkan untuk memberitahu Akasuke bahwa saat ini dia tak memiliki pasangan. Begitu pun tahun-tahun sebelumnya, mungkin juga untuk selamanya, kecuali Akasuke yang meminta, sebab hatinya dikosongkan khusus untuk diisi pria ini.

“Benarkah? Padahal menurutku kalian adalah pasangan yang serasi.”

Serasi? Mungkin. Bila serasi mendefinisikan ‘berdebat’ setiap hari.

“Akira Itsuka,” panggil Akasuke, suaranya terdengar begitu merdu di telinga Akira.

“Naani,” jawabnya, sambil menahan setengah hembusan napas.

“Maukah kau pergi bersamaku ke festival Hanami?” Tanya Akasuke tiba-tiba.

“Aku?” tentu saja, akhirnya, setelah bertahun-tahun. Soraknya dalam hati.

“Ja, mate ne. Aku akan menelponmu nanti,” sambil turun dari kereta, pria ini melemparkan lirikan ke arah Akira.

Sepertinya detik demi detik kini berputar dengan perlahan. Semua berubah menjadi gerakan slow motion. Waktu setengah jam untuk mencapai Kanagawa berubah menjadi puluhan kali lebih lama.

Dalam khayalnya meledak ratusan kembang api berwarna-warni. Momen yang selama ini dia nantikan akan segera tiba. Impian tentang perayaan Hanami bersama sang kakak senior menjejali otaknya. Bayangkan, selama bertahun-tahun menunggu, akhirnya dapat jadi kenyataan.

 “Tadaima,” Akira mengucapkan salam, tak terdengar jawaban.

Setiap ruangan diperiksanya, untuk mencari ayah dan ibu. Ah, rupanya mereka sedang minum teh di halaman belakang, duduk di kursi bambu buatan ayah. Mereka selalu terlihat harmonis, begitu saling mencintai satu sama lain. Membuat gadis ini berandai-andai tentang dirinya dan Akasuke.

“Okaa-san, Otou-san.”

Akira menghambur ke arah mereka sambil memberikan pelukan satu persatu.

“Kamu kenapa? Anakku,” tanya ayah khawatir, sambil menempelkan telapak tangan, “tapi badanmu tidak panas.”

“Aku baik-baik saja, Ayah. Memang ada yang aneh?”

“Hmmm. Aku tahu, kau sedang jatuh cinta kan?” ibunya menyelidik, “maksudku jatuh cinta lagi. Ooh mudah-mudahan kali ini, putriku mengakhiri hubungan di pelaminan.”

“Okaa-san...” timpal Akira, pipinya tampak merona.

Salah satu saksi bisu sejak awal Akira jatuh cinta pada Akasuke adalah cermin meja rias yang berada di samping tempat tidur. Sambil menyisir rambut panjangnya, dia tak berhenti berceloteh tentang segala hal yang dilewatkan bersama pemuda itu setiap hari. Kadang tersenyum dia sendiri atau tak jarang menangis tersedu-sedu.

Seperti saat ini, dia tersenyum di depan cermin. Membayangkan tentang perayaan Hanami bersama Akasuke. Memikirkan pakaian apa yang akan dia kenakan. Yukata, gaun putih selutut atau baju santai saja.

Hadiah apa yang akan ia berikan pada Akasuke? Mungkin sesuatu yang sederhana saja, tak boleh berlebihan, jangan sampai pria itu tahu isi hati Akira yang sebenarnya. Mungkin lebih tepat bila, jangan sampai dirinya kembali kecewa.

Bukankah hal seperti ini telah sering dia alami?

Jatuh cinta, lagi dan lagi, pada orang yang sama. Sekaligus patah hati karena kisahnya tak pernah berakhir bahagia, selalu bertepuk sebelah tangan.

Kalau sudah begitu, cermin di kamarnya akan memilih untuk dipecahkan saja karena sepanjang hari, sepekan penuh bahkan hingga sebulan Akira akan menangis pilu sambil mengutuk dirinya sendiri. Sekaligus membandingkan segala kekurangan dirinya dengan gadis yang dipilih Akasuke untuk menjadi pacar.

 Dan Kenji, akan memohon untuk kehilangan pendengaran saat itu juga, sebab Akira terus menerus meratap sambil tersedu di hadapannya. Kekonyolan apa pun yang dia lakukan, tak akan sanggup membuat sahabatnya ini kembali tersenyum. Sedangkan untuk hal-hal manis, menyenangkan dan spesial bersama Akasuke  Murakami. Dia akan membaginya pada Ayumi. Teman sebangku sekaligus sahabat dekatnya selama di sekolah menengah sampai menyelesaikan kuliah, juga hingga sekarang.

Antrian di Harajuku Ramen terlihat lengang, mungkin karena jam makan malam baru tiba sebentar lagi. Kedai ramen di dekat Yoyogi Park ini adalah favortit Akira bersama Ayumi, atau Akira saat bersama Kenji. Suasana yang meriah membuat mereka betah di sini, tangan-tangan kreatif yang membuat penampilan kedai terlihat unik. Menu yang digambar dan ditulis sendiri, dengan karakter anime yang lucu.

Hampir dua belas  jenis ramen yang menjadi menu andalan, dengan kuah miso, spicy ramen, dry ramen, garlic bahkan ada juga vegan ramen. Akira dan Ayumi menyukai tekstur ramen-nya yang crunchy. Dua mangkuk ramen Tonkotsu Miso telah tersaji di meja, dari aromanya dapat langsung ditebak sepedas apa kuah ramen tersebut. Asapnya menyusup ke lubang hidung, menggoda untuk segera diseruput habis.

“Ayumi-chan. Aku ingin bercerita padamu, beberapa hari ini aku senang sekali,” serunya, “kau tentu bisa menebak, apa yang ingin aku ceritakan?”

“Pasti tentang Akasuke-senpai, benar, kan?” jawab Ayumi, tak pernah meleset.

“Kau memang selalu tahu, Ayumi-chan. Hebat sekali.”

“Sejak dulu, satu-satunya hal yang dapat membuatmu tak berhenti tersenyum adalah senior kita yang satu itu. Bagaimana mungkin aku tidak tahu,” sahut Ayumi sambil mengaduk kuah ramen, bersiap menyantapnya.

“Ayumi, bisa saja,” ujarnya, “Kemarin Akasuke Murakami mengajakku pergi ke perayaan Hanami. Berdua, aahhh...senangnya.”

Kedua bola mata gadis ini berbinar, memancarkan kebahagiaan. Dia tak sabar menanti hari di mana Akasuke akan menjemputnya ke rumah. Ramen dihadapannya dibiarkan begitu saja, seolah sama sekali tak menggugah seleranya.

“Benarkah? Kalau begitu, aku ikut senang, Akira sayang. Aku pikir tahun ini kau datang ke festival Hanami bersama dengan Kenji.“

“Kenji? Tentu saja tidak,” tangkisnya, “kami tak pernah pergi ke acara spesial semacam itu.”

“Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan, Akira-chan. Begini...”

Nada panggil di ponsel Akira memotong pembicaraan mereka. Telepon dari Akasuke, tampaknya akan terjadi sebuah pembicaraan panjang.

Ayumi Saito menghela napas panjang, sambil melirik dengan raut wajah kesal. Jangankan Ayumi bahkan seratus masalah sanggup diabaikan oleh Akira, apabila bersangkutan dengan Akasuke. Padahal Akira kerap kecewa dengan perlakuan pemuda itu, yang tidak pernah tahu, atau mungkin pura-pura tidak tahu dengan perasaan yang dimiliki Akira untuk Akasuke.

Sebagai seseorang yang disebut sahabat, Ayumi merasa tak pernah dinomorsatukan. Dia selalu berada diurutan sekian, tentu saja setelah Akasuke berkali-kali. Kemudian Kenji. Kenji Kobayashi, teman SMA mereka yang sempat dibenci Ayumi karena cemburu dengan kedekatannya bersama Akira.

“Maaf, Ayumi-chan, tadi apa yang ingin kau tanyakan?” ujar Akira, “aku siap mendengarmu,” cetus Akira setelah hampir satu jam berlalu.

 Ramen panas yang dipesan Akira terlanjur berubah dingin. Begitupun teh yang semula penuh dengan asap, kini telah menguap. Sama seperti Ayumi yang telah kehilangan hasrat untuk meneruskan perbincangan.

****

Awal April, hari ke 4.

Terima kasih telah bersedia menerima ajakanku untuk bersama-sama menghabiskan akhir pekan di festival Hanami. Aku akan menjemputmu pukul 10 nanti, kita akan melihat seluruh bunga sakura mekar sempurna.”

Setelah Akasuke menutup percakapan di telepon, sorak kegembiraan membahana dalam kamar tidur Akira. Sakura tahun ini tak hanya mekar sempurna di Jepang. Namun, mereka turut menghiasi hati perempuan ini. Warna-warna merah muda berbaur dengan putih nan lembut, menyambut sang gadis yang kini sedang jatuh cinta. Pada Akatsuke, sekali lagi.

“Akira-chan, kau sudah siap?” tanya ibu.

Sekeranjang bekal telah disiapkan, sementara ayah telah melipat tikar dengan rapi.

“Okaa-san, sepertinya aku tak ikut bersama kalian,” jawab Akira malu-malu.

“Lagi? kau pasti memilih menghabiskan waktu di butikmu ya?” sambar ayah.

“Tidak, Otou-san. Hari ini aku akan menghadiri perayaan Hanami. Namun, tidak bersama kalian, seseorang akan menjemputku sebentar lagi.”

Rona kemerahan di pipi gadis itu terlihat membias, memancarkan kegembiraan yang ditimbun dalam sanubarinya.

“Benarkah? Siapa pria itu? Jangan katakan itu adalah Kenji,” nyonya Sakura berubah panik, disusul gelengan kepala Akira, “Wah baguslah, aku bahagia sekali hari ini. Akhirnya doa kami dikabulkan.”

“Okaa-san, tak perlu berlebihan begitu, dia hanya teman.”

Akira berseru saat melihat kedua orang tuanya berpelukan. Seakan hari itu adalah hari pernikahan anak gadisnya.

“Suamiku, bagaimana kalau kita merayakan ini berdua. Lain kali saja kita pergi melihat hanami.”

“Usul yang bagus istriku. Biarkan mereka berdua saja yang menikmati momen indah kali ini,” timpalnya, “seperti kita dahulu, setelah menghadiri hanami bersama. Sebulan kemudian langsung menikah. Semoga Akira-chan kita juga seperti itu.”

Kemudian mereka berdua saling berpegangan tangan. Berdansa mengelilingi Akira, lalu menghilang di balik kamar tidur.

Bel rumah berbunyi, tanda seseorang telah datang di balik pintu. Berdiri tegap berbalut sweater berbahan wol tipis berwarna abu tua, membuat otot-otot di tubuhnya tercetak. Wajahnya yang selalu tampak maskulin memajang senyum khas penuh kharisma.

“Itterashai, Akasuke-kun,” ucap Akira, “kau masuk dulu? Atau kita langsung berangkat saja?”

“Apakah orang tuamu ada di rumah? Aku ingin menyapa mereka.”

Pria itu membawakan Akira sebuah kado cantik bersama sekotak banana cake. Dia ternyata tidak pernah lupa penganan kesukaan adik kelasnya sejak dulu di SMU.

“Mereka ada di rumah, tapi sepertinya sedang tak bisa diganggu,” ujar Akira, tak ingin ayah dan ibu menggoda Akasuke.

“Baiklah kalau begitu, tolong sampaikan salamku dan cake ini. Mudah-mudahan mereka masih menyukainya.”

Sore ini, taman yoyogi terlihat lebih ramai. Tentu saja karena pekan ini adalah hari-hari terakhir bagi bunga sakura untuk memamerkan keindahan dan warna warni lembutnya.

“Okaa-san menyiapkan bento ini untuk kita. Lihatlah, banyak sekali.”

“Ibumu dari dulu memang baik sekali, Akira-chan,” puji Akasuke, sambil mencicipi berbagai penganan dari kotak bento.

Sepasang insan yang tampak dibanjiri kebahagiaan itu sejak tadi memasang raut ceria. Mengenang masa-masa sekolah dulu, hingga saat kuliah di kampus yang sama. Menceritakan kegiatan saat ini, Akira dengan butiknya, sementara Akasuke memberi tahu Akira tentang perusahaan baru dan yayasan sosial yang tengah dia bina.  

Akira menunggu dan menunggu. Namun, tak satupun isyarat atau kalimat yang menyatakan bila Akasuke akan melamar atau menjadikan gadis ini sebagai pendamping. Hingga matahari bergulir dan warna-warna jingga mengulas kaki langit.

“Sudah terlalu sore, Akira-chan, sebaiknya kita pulang sekarang, ya!”

“Oh, iya. Akasuke-kun, tak terasa ternyata sudah hampir malam,” Akira tersentak dari lamunan.

***

Beberapa kerikil kecil dilemparkan ke arah jendela. Kenji melongokan kepala, memusatkan pandangan pada sesosok gadis yang melambaikan kedua tangan.

‘Akira Itsuka. Kabar apa yang dibawanya malam ini?’ gumam Kenji.

Pria muda ini menurunkan tangga dari balkon,

“Aku pikir, kau pergi melihat bunga sakura bersama Ayumi,” komentarnya datar, sama sekali tak menaruh ketertarikan pada cerita gadis ini.

“Hei, kenapa kalian memiliki pikiran yang sama. Tumben kalian kali ini sehati, sudah bosan bertengkar, ya, baguslah kalau begitu. Aku senang sekali.”

“Lalu?” Selidik Kenji.

“Lalu apa?”

“Akhirnya sekarang kau jadi pacar Akasuke-senpai kan?” Tanyanya menegaskan.

“Tidak, belum, entahlah, segera mungkin, kuharap.”

Akira menghirup udara dan menghamburkan kembali bersama desahan panjang.

“Yeaaa, kali ini aku tak akan mendengar lagi tangisan konyolmu, selamanya,” pria ini bersorak, namun menyimpan ketidaktulusan jauh di lubuk hatinya.

“Kenji-kun, awas kamu ya!”

Bantal putih empuk, teman setianya saat tidur mendarat tepat di wajah. Akira terbahak senang. Tanpa tunggu aba-aba Kenji membalas dengan gemas. Perang bantal ke seratus sekian kali.

“Kenji, makan malam!” Seru nyonya Megumi, Mama Kenji.

Tanpa menunggu dipanggil dua kali, Kenji dan Akira berebutan menuruni tangga.

***

“Mencintaimu seperti helaian daun yang gemerisik di tiup angin. Merasakan tanpa mampu bertatapan.”

Chat. Akasuke.

Akira membelalakkan mata. Tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Jemarinya mengusap layar android. Dia baru saja akan mengirim balasan, saat chat selanjutnya kembali dikirim.

Aku membaca ini di status, Keiko. Mantanku,”

Oh, ternyata. Gadis ini langsung menghapus kalimat yang telah dia ketik. Urung untuk dikirimkan.

Kemudian obrolan selanjutnya adalah tentang sang mantan. Akira menanggapi dengan enggan. Namun, Akasuke tak menangkapnya. Tanpa perlu diramalkan, Akira tahu hal ini akan terjadi. Sejak mereka masih bersama di sekolah menengah. Akasuke selalu menjadikan dia tempat mencurahkan perasaan. Perasaan untuk gadis lain, gadis-gadis lain.

Tak apa. Akira tetap bahagia, hal ini tak mengubah apa pun. Terutama cinta yang dia miliki untuk pria ini. Cinta yang cukup dipendam dalam hati. Selamanya.

****

 

 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Another Story of Ren Yeon Bab 1

Another Story of Ren Yeon Bab2 Part 3

Another Story of Ren Yeon Bab 4 Part 2