Another Story of Ren Yeon Bab 3 Part 3
Keharuman aroma padang
rumput, membawa pikirnya melayang. Memutar kenangan masa kecil yang sempat
terekam di otak. Pada suatu masa, beberapa tahun lalu. Saat seluruh waktu
dihabiskan untuk belajar, belajar dan belajar. Demi mempersiapkan diri, menjadi
pemegang tampuk jaringan luas, bisnis keluarga Park.
Kala rasa jenuh menguasai.
Dia akan berlari ke padang rumput ini. Menumpahkan kekesalan pada
helaian-helaian rumput. Melemparkan batu-batu kecil ke tengah danau hingga
meninggalkan riak. Menimbulkan gelombang yang semakin lama kian melebar dan
akhirnya lenyap.
Tempat yang paling Sang
Wook sukai, karena di sini dia selalu dapat menemukan teman. Katak yang
melompat menuju daun teratai di tengah danau. Capung yang kala hinggap di atas
rumput yang bergoyang dimainkan angin nakal.
Mereka adalah teman yang
paling dapat dipercaya. Tidak akan membocorkan rahasia sedikit pun meskipun
menjadi saksi hidup, saat Park Sang Wook kecil merasa lemah. Yang selalu ditutupi
dengan teriakan penuh kemarahan, demi membendung buliran bening yang
mengkristal di sudut mata.
Langit malam terlihat kian
kelam tanpa perhiasan. Apakah cahaya-cahaya bumi telah menelan mereka? Atau
mungkin helaian awan hitam, sengaja menyembunyikan kilau bintang. Meskipun
kadang tak terlihat, tapi kita selalu tahu bahwa bintang tetap teguh berada di
tempatnya. Seperti kerinduannya akan sosok seorang ibu, Sang Wook mungkin kerap
menyembunyikan di hadapan semua orang. Tetapi saat dia sendirian, merenung,
rasa itu sedemikian menyergap.
Menerbitkan keinginan
teramat besar, untuk merasakan lagi belaian lembut dari tangan sehalus sutra
milik perempuan yang melahirkan, serta melunasi kebutuhan untuk menerima
pelukan ‘penyembuh’ saat terluka. Luka menganga di relung hati karena hidup
sering kali tidak berjalan seperti yang
kita mau.
“Sang Wook. Maafkan aku,”
suara lemah itu bergetar lirih, “Mungkin Eomma tak dapat memelukmu lagi.
Menemanimu hingga kau dewasa. Namun, jangan khawatir kasihku akan selalu
menyertai langkahmu. Aku akan selalu hidup, di sini.”
Telapak tangan rapuh milik
perempuan di hadapannya menyentuh dada Sang Wook. Sesaat kemudian jatuh
terkulai, seiring jeritan suara mesin pendeteksi detak jantung. Melengking
memilukan.
Anak muda ini ingin
menghambur, memeluk jasad ibunya. Memecahkan tangis, agar sesak yang sejak lama
menghimpit dada dapat luruh. Melepaskan duka terbesar, yang harus dia tanggung
di usia ini. Namun, sang ayah dengan tatapan tajam memaksa Sang Wook untuk
menjadi pria sejati, tegar dan tidak mudah runtuh.
“Laki-laki sejati tidak
pernah menangis, Anakku. Jangan pernah sekali pun, memperlihatkan kelemahanmu,”
pesan Park Dong Jin menyorotkan paksaan.
Saat pemakaman
berlangsung. Di hadapan semua orang, pria kecil ini terlihat kuat. Padahal
nyeri di kepala karena menahan tangis sudah tak tertahankan. Napas yang seolah
sengaja tidak dihembuskan, meninggalkan rasa ngilu. Membuat jantung memompa
lebih kencang. Seakan siap meledak.
Park Sang Wook berlari
kencang tanpa arah. Tidak mempedulikan hardikan sang ayah. Mengacuhkan
panggilan khawatir-bibi Hsu dan paman Choi-Pengasuhnya. Setelah kakinya tak
sanggup lagi berlari. Dia merubuhkan diri, di atas hamparan rumput di padang
luas ini.
Menangis, untuk pertama
kalinya. Menumpahkan seluruh air mata yang seakan bertahun-tahun terbendung.
Meneriakkan nama Ibu berkali-kali. Kepalan kedua tangannya bergantian
meninju-ninju tanah. Tak peduli dengan langit yang kini berubah gelap tertutup
awan.
Sampai hujan luruh
membasuh wajah, bercampur dengan air mata kehilangan yang masih enggan surut. Sesak
dalam dadanya tak jua hilang, meski berjam-jam
sudah waktu dihabiskan untuk menangis.
Hingga warna langit
bersepuh jingga, titik titik air di dedaunan tak lagi terlihat jejaknya.
Pakaian yang semula basah, hampir mengering sendiri di badan Park Sang Wook.
Isaknya masih terdengar, suaranya melemah seiring gigil di tubuhnya yang kian
terasa.
“Tuan Muda, Anda baik baik
saja?” Choi Min orang tua perawat kebun keluarga Park,
menegaskan keadaan Sang
Wook.
Begitu pun sosok perempuan
gempal yang tergopoh-gopoh di belakangnya. Kedua tangannya membentangkan handuk
untuk menutupi tubuh Park Sang Wook.
“Mari pulang, Tuan Muda.
Bajumu basah, nanti demam.” Suaranya tersendat seakan turut merasakan luka Tuan
Mudanya.
Sejak saat itu, Park Sang
Wook kerap mengunjungi padang rumput. Menjadikan sebagai tempat meluapkan emosi
yang selalu tak bisa tertumpahkan di rumah. Apalagi di depan Sang Ayah.
Habiskan waktu berjam jam di sana, hanya untuk menatap langit dan menemui hewan
hewan yang turut bermain di sana.
###
Komentar
Posting Komentar