Doa Tanpa Aamiin

Setengah dari penduduk bumi, pastinya mengeluhkan hal sama. Apa lagi kalau bukan tentang penurunan perekonomian. Efek pandemi berkepanjangan. Bukan hanya negara atau perusahaan besar, bahkan setingkat rumah tangga menengah ke bawah saja setiap hari menjerit. Hanya saja, justru mereka yang mayoritas ini malah tak terdengar tangisnya. 


Tetapi Neneng tak hendak menyalahkan virus yang konon sengaja dibuat itu. Toh, jauh sebelum segala sebab dan akibat yang ditimbulkan penyebaran virus tersebut, rumah tangganya sudah dalam keadaan terhimpit. Beberapa tahun sudah suaminya tak memiliki pekerjaan tetap. Keahlian dalam bidang mekanik yang dikuasai sudah tak mampu lagi dijadikan andalan. 


Mereka yang biasa memakai jasa suaminya, pasti lebih memilih menyelamatkan perut daripada urusan servis AC. Sementara di rumah ini ada perih yang terpaksa ditahan karena menahan lapar. Sudah tak lagi mampu mengeluh, hanya menunggu dan menunggu. Berharap ada perubahan yang lebih baik.


Pada akhirnya, bantuan pemerintah lah yang jadi andalan. Meski hanya cukup untuk sekedar mengisi perut agar tidak kelaparan. Tapi bukankah kebutuhan hidup bukan hanya makan?


“Jadi gimana, Bang? Sudah berapa tahun kita begini terus, Abang masih gak mau cari kerja? Kalau mau buka usaha juga kita,kan belum punya modal.”


“Lah, lagi masa pandemi begini. Jangankan yang mau cari kerja,yang sudah kerja saja di rumahkan. Teman teman Abang juga banyak yang di PHK!”


Kalau sudah begini,Neneng cuma bisa diam. Menahan tangis,menahan kesal. Bukan tak bersyukur dengan apa yang sudah didapatkan sekarang tapi apa tak boleh mengharap kehidupan yang lebih baik?


Apalagi bila mengingat anak mereka yang sudah memasuki usia sekolah. Sementara biaya Taman Kanak Kanak pun tidaklah murah. Bila sudah mulai merengek tentang hal itu, suaminya cukup berkata sabar dan sabar.


Seharian ini Neneng belum menyentuh nasi sesuap pun. Kebetulan beras dari bantuan sosial habis dan belum disalurkan lagi. Anaknya hanya sempat menikmati mie instan. Baru bisa tidur lelap.


“Assalamualaikum,” salam suaminya berbarengan dengan membuka pintu, “Bu, ada rezeki nih.”


Neneng terperangah, bukan karena Hamid membawa dua kotak nasi berkat lengkap dengan kue-kue dan buah buahan. Tapi karena terselip juga amplop berwarna putih yang terlipat rapi.


“Koq, ada amplopnya segala, Yah? Memang jamaah tahlilnya semua dibagin amplop ya?” Apalagi saat melihat isinya yang bagi Neneng lumayan besar, satu lembar berwarna merah dan biru. 


“Enggak, Bu. Kebetulan Ustadznya tidak datang karena memang ada  acara tahlil di tempat lain. Alhamdulillah Ayah dipercaya untuk memimpin tahlil.”


Hamid memang sudah terbiasa membaca tahlil. Apalagi setiap malam ia menghadiri majlis ta’lim. Neneng pun mengakui kalau dalam hal ini suaminya selalu giat, tak pernah absen. Belum lagi saat di rumah, waktunya hampir dihabiskan hanya untuk memperbanyak dzikir dan membaca Al Quran. 


Walau pun hal ini berkali- kali menimbulkan perdebatan antara mereka berdua. Di mana Neneng lebih menginginkan suaminya memperbanyak usaha dalam mencari pekerjaan. Sedangkan Hamid berkeyakinan untuk memperbanyak doa agar rezeki mengalir lancar.


Dalam hati Neng sangat bersyukur, kebutuhan dapur bisa tersambung beberapa hari. Ia bukan tak mau bekerja atau berdagang. Tapi anaknya yang masih balita tak dapat ia tinggalkan, sementara membayar orang untuk menjaga anak saja biayanya cukup besar. Sedangkan ia hanya lulusan sekolah menengah, pekerjaan apa yang bisa ia dapatkan. Tak mungkin bisa mendapatkan gaji yang besar.


Maka saat keesokan hari, selepas Isya, terbersit harap di hati Neneng agar suaminya kembali diberi kesempatan memimpin tahlil. Semenjak virus ini merebak kemana mana, berkali-kali dalam sehari, terdengar toa masjid mengumandangkan sejumlah nama orang-orang yang baru saja berpulang.


Entah berapa bulan terlewati sudah, sudah mulai jarang terdengar pengumuman di masjid. Neneng mulai resah, jangankan amplop, sekedar nasi berkat saja sudah tak lagi didapatkan. Pertengkaran kembali dengar, meski pun hanya sepihak. Sebab, suaminya hanya menjawab pendek.


“Sabar, banyak banyak doa aja … .”


Lalu, Neneng harus memanjatkan doa seperti apa? Semoga banyak yang meninggal agar suaminya bisa kembali mendapatkan amplop memimpin tahlil. Namun, siapa pula yang akan meng-aamiin-kan doa seperti ini? [Awg].









































































































































Komentar

Postingan populer dari blog ini

Another Story of Ren Yeon Bab 1

Another Story of Ren Yeon Bab2 Part 3

Another Story of Ren Yeon Bab 4 Part 2