Another Story of Ren Yeon Bab 3 Part 1
Park Sang Wook melayangkan
pandangan dari balkon lantai dua bungalow milik keluarga Park. Merentangkan
kedua tangan, sambil menarik napas panjang. Alirkan udara pagi pedesaan ke
dalam tubuh kekarnya. Di bagian depan, terlihat pegunungan Kumgang yang mulai
berkilau seakan disirami cahaya mentari pagi.
Beruntung, keluarga Park
memiliki bungalow di tengah Desa Angae. Salah satu tempat di distrik pariwisata
dengan suasana asri dan segar khas pedesaan. Bangunan ini berdiri dengan megah.
Begitu kontras dengan rumah penduduk sekitar. Seperti segelintir pasukan,
tengah menjaga benteng istana.
Pria ini menghentikan
pandangan pada salah satu rumah di seberang kiri bungalow dengan jendela
berhadapan. Dia menundukkan kepala, menatap seorang perempuan tua yang duduk
termangu. Sang Wook melambaikan tangan, sambil tersenyum ramah. Meskipun tak
mendapat ekspresi apapun sebagai balasan.
Pagi ini Hsu Wan
menghidangkan sarapan spesial di meja. Perempuan tua bertubuh gempal ini
menyambut tuan muda kesayangan dengan suka cita. Tertebus sudah kerinduan
selama bertahun-tahun, sejak Park Sang Wook dikirim untuk belajar di luar
negeri.
“Sepertinya beberapa hari
ke depan, aku akan bertambah gemuk. Kemudian berubah menjadi bulat, seperti
saat aku masih kecil,” tukas Sang Wook, “Masakan Bibi tak pernah bisa aku
tolak. Makanan nomor satu dan terlezat sedunia,” sambil memegangi perut yang
terlampau penuh.
Pipi Bibi Hsu bersemu
merah, tersipu karena pujian anak majikannya, “Suatu kebanggaan untuk saya bisa
memasak untuk pria seganteng Tuan Muda,” timpalnya.
“Kalau begitu, maukah Bibi
menikah denganku?” seloroh Sang Wook lagi.
“Ah, tidak, tidak. Aku
tidak mau menikah dengan pemuda manja seperti Tuan Muda,” Hsu Wan terkekeh.
“Ayolah, Bi. Aku mohon,”
Mereka berkejaran
mengitari ruang makan. Membuat Hsu Wan kelelahan karena tak berhenti tergelak.
“Aku menyerah, Tuan Muda.
Jangan sampai badanku tiba-tiba kurus.”
“Baiklah. Tapi mulai
sekarang, berhentilah memanggil Tuan Muda. Aku lebih senang Bibi memanggil
dengan nama Sang Wook. Bukankah sudah sering kuingatkan.”
“Iya. Sang Wook,” Hsu Wan
menjawab dengan panggilan sayang.
Wanita ini memegang kedua
lengan Park Sang Wook. Ketika masih belia dulu, anak ini hanya setinggi
bahunya. Namun sekarang, telah berubah menjadi lelaki dewasa. Sehingga dia
harus mendongakkan kepala saat melihat wajah tuan mudanya.
Seolah berahun-tahun yang
ia lalui hanya lewat dalam sekejap. Tuan muda kecil yang dulu berubuh gempal
menggemaskan. Sekarang berubah menjadi pria tampan berpostur atletis. Andai,
Tuan Muda tak rajin menghubunginya ia tentu tak akan mengenali saat bertemu
Kembali, setelah terpisah bertahun tahun.
***
Sang Wook membenamkan diri
di dalam rumah kaca. Salah satu pilihan terbaik untuk membuatnya rileks. Meskipun
musim semi telah berakhir. Namun, beberapa bunga masih merekah indah.
Kelopaknya dengan malu-malu bermekaran. Diikuti puluhan kupu-kupu yang hinggap
dan terbang bergantian, dengan berbagai corak unik disayap. Mengagumkan.
Di sudut sebelah kanan adalah
kumpulan tanaman anggrek. Batang meregang lurus, daun membentang seimbang.
Mahkotanya berwarna merah muda terang. Menampilkan perpaduan nan cantik. Aura
keanggunan yang dipancarkan saat mekar mampu menawan hati setiap orang. Bahkan
hampir semua setuju, anggrek ini memiliki nilai kemartabatan tinggi.
Bunga milik Ibu yang
paling berharga. Sang Wook betah berlama-lama mengagumi bunga ini. Seakan
memiliki ikatan batin istimewa. Membawa pada kenangan manis tentang dekapan
sang ibu sewaktu kecil. Dia berjanji untuk selalu menjaga koleksi bunga bunga
cenik milik sang ibu, meskipun ternyata seiring waktu berjalan. Sang Wook tak
lagi memiliki kesempatan untuk merawat sendiri bunga-bunga ini.
“Paman Choi, aku merasa
sangat beruntung. Karena pada saat aku kembali kesini. Bunga-bunga ini masih
cantik bermekaran. Mungkin mereka sengaja menungguku.”
“Betul sekali Tuan Muda.
Dan saya sangat senang, karena Anda bisa kembali menikmati keindahan di taman
ini,” jawab Choi, gardenist keluarga Park. Terharu.
“Mulai sekarang, aku akan
lebih banyak meluangkan waktu untuk merawat bunga-bunga ini. Selama beberapa
tahun di Amerika dan Seoul. Mereka tak pernah sempat kujenguk.”
“Tentu saja Tuan Muda.
Saya yakin mereka merindukan sentuhan tangan Tuan Sang Wook,”
“Ah, Paman. Panggil saja
aku Sang Wook. Lebih enak didengar,” Choi Min tersenyum tipis, sambil
mengangguk mengiyakan.
Komentar
Posting Komentar