Another Story of Ren Yeon Bab 4 Part 1

 


Seringkali Hidup Berjalan Tidak Seperti yang Kita Mau

Bab 4 Kenangan Masa Kecil Ren (Part 1)

Seharusnya Eun Heeso dirawat sepenuhnya di rumah sakit jiwa agar segera pulih. Namun, Ren tak ingin berpisah dengan sang ibu, gadis ini berpikir bahwa hawa sejuk pegunungan dapat membantu ibu lebih cepat pulih dan bisa memperoleh ketenangan.

Namun, kepindahan mereka ke daerah terpencil ini tidak menampakan perubahan pada kesehatan jiwa Eun Heeso. Perempuan ini semakin sering kambuh, berteriak histeris sambil melempar apapun yang ada di dekatnya. Bahkan menyakiti diri sendiri dengan membenturkan kepala ke tembok sambil meracau tak jelas.

Ketegaran dan kasih sayang Ren, membuatnya bertekad mengurus ibu seorang diri. Tanpa Ayah. Walaupun sebenarnya sulit sekali, melewatkan detik demi detik, tanpa sosok yang selalu menjadi pelindung. Kadang terpikir untuk menyerah dengan keadaan yang menghimpi karena merasa tak lagi memiliki ketegaran dalam menghadapi kebekuan ibu yang kian tak dapat tersentuh.

Namun, dia tak ingin menangis di hadapan ibu. Tidak boleh. Setiap jiwa terasa rapuh serta tubuh kecil miliknya lelah. Dia akan kembali berlari menuju padang rumput ini. Tempat paling aman untuk menangis karena hanya disaksikan oleh ilalang yang bergoyang dibelai angin. Mereka tak akan bercerita kepada siapa pun.

Tetapi hari ini, ternyata ada sosok lain di belakangnya, “Adik kecil, apa kamu baik-baik saja?” Selidik pria muda yang napasnya masih terengah setelah berlari menuju tempat ini.

Ren tersentak demi mendengar suara asing di belakangnya, ternyata ada orang lain di tempat ini.

“Si-siapa kau? Mengapa tiba-tiba berada di sini? Ini padang rumput milikku!” Suaranya bergetar dan meninggi.

“Kau salah, ini padang rumput milikku. Aku menemukannya terlebih dahulu, sebelum kamu tiba tiba ada di sini.”

Tanpa peduli dengan apa yang dikatakan lelaki muda itu, tangisnya pecah, suaranya memecah langit senja yang sunyi. Capung-capung yang tengah terbang dengan tenang langsung menjauh. Begitu pun katak yang semuala bersantai di atas daun Teratai langsung melompat ke dalam kolam. 

“Lalu aku harus ke mana lagi?” ucapnya sambal terus meratap,” tak ada tempat lain yang bisa aku datangi,” tangisnya kian kencang.

Paras pemuda itu berubah cemas, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi tangis seorang gadis.

“Ja-jangan menangis, yeo dongsaeng. Tidak apa-apa, padang rumput ini cukup luas. Kita bisa berbagi,” ia mencoba membujuk.

“aniyo, aniyo… aku mau sendirian saja di sini,” rengekannya tak juga berhenti.

“Apa kamu suka coklat?” lelaki itu tiba tiba memikirkan satu ide baik,”Ibuku bilang, permen coklat bisa menghilangkan kesedihan. Kau boleh mencobanya dulu, Adik Kecil.”

Kedua tangannya menyodorkan sebatang coklat susu manis. Semula Ren ragu untuk meerimanya, tapi demi melihat binar tulus pada kedua mata coklat milik lelaki itu, ia menyodorkan tangan untuk mengambil permen coklat yang dibalut kemasan ungu muda.

Sambil tetap terisak ia perlahan membuka bagian atas bungkus coklatnya perlahan. Lalu mencoba satu gigitan kecil.

“Apa kamu merasa lebih baik?”

Ren Yeon tak menjawab, ia meneruskan dengan gigitan kedua. Sedikit lebih baik, akunya dalam hati.

 “Jadi, bagaimana? Boleh kan kita berbagi padang rumput ini? Sebab aku juga sering menumpahkan kesedihanku di sini. Tapi tidak pernah menangis, laki-laki tak boleh menangis.”

 “Benarkah?” Ren menoleh,”Perempuan juga tak boleh menangis. Itulah alasan, mengapa aku menangis di tempat ini. Agar tak ada seorang pun yang tahu, terutama Eomma. Juga Appa,” Ren menjelaskan di sela sela isak yang mulai mereda.

 “Apa eomma dan appa-mu marah bila melihatmu menangis? Seperti Ayahku, yang akan marah besar bila aku menangis?” selidiknya.

 “Tidak. Bukan marah, tapi bersedih. Dan aku tak ingin Eomma ikut menangis.”

 “Karena itu, mulai sekarang tersenyumlah,” ujar pria kecil itu, sambil menyentuhkan telunjuk ke pipi kiri.

Memamerkan lekuk kecil yang bertengger di sana. Terlihat jelas meski kedua pipinya begitu tembem. Tubuhnya gempal, menggemaskan. Ren melengkungkan kedua ujung bibir membentuk senyum manis. Seraya menyeka sisa-sisa air mata yang mulai mengering.

Ia lalu mematahkan coklat menjadi dua bagian. Dan membaginya, “ini untukmu.”

 “Kau boleh memanggilku Oppa. Dan aku akan memanggilmu Adik Kecil. Karena usiaku lebih tua, setuju?”

Ren mengangguk, “Iya, baiklah. Oppa,” Rautnya berubah cerah, dihiasi senyum yang kian melebar.

Rerumputan hijau yang bergoyang tertiup angin serta keluarga katak yang bergantian melompati daun teratai. Juga capung-capung yang hinggap di atas ilalang turut berbahagia melihat mereka berbagi cerita dan canda tawa riang. Hingga dengan terpaksa senja memberi jeda dengan menghiasi batas langit.

“Terima kasih, telah menemani aku, Oppa” ucap Ren, “aku harus pulang.”

 “Baiklah, aku juga harus pulang. Besok kita bertemu lagi di sini, ya, Adik Kecil.”

Mereka pun saling melambaikan tangan, setelah berjanji untuk kembali bertemu di padang rumput ‘rahasia’ milik mereka.

 “Jangan lupa, Adik Kecil. Senyuuuum,” dia mengingatkan adik kecilnya untuk selalu tersenyum. Disambut seringai lebar si gadis kecil.

Langkah Ren saat menyusuri jalan menuju rumah, kini terasa lebih ringan. Berbeda dari hari hari sebelumnya saat dia belum menemukan teman.

Sebelum mencapai pintu depan, ia kembali mendapati setangkai bunga cantik di jendela kamar. Tersimpan dalam botol kaca bening berisi air, seseorang pasti sengaja menaruh di situ. Helaian cantik mahkotanya merekah sempurna. Aroma menyenangkan, menyeruak rongga pernapasan saat Ren menghirup kuntumnya.

 “Imo, apakah Imo tahu. Siapa yang selalu menaruh bunga di jendela rumah kami?”

 “Tidak, Sayang. Tapi mungkin sesaat setelah kau pergi, seseorang menyimpan di sana,” ungkap Bibi Jae.

Ren menyimpan bunga di atas meja. Warna merah muda cerahnya, memancarkan semangat dan keceriaan.

 “Rupanya Eomma memiliki pengagum rahasia,” goda Ren, “Apakah Eomma suka dengan bunga ini, atau lebih suka pada orang yang memberi?”

Senyap tanpa jawab, seperti biasa.

Jawab, ibu. Meski satu kata atau bahkan sedikit anggukan. Batin Ren, meronta.

 “Sekarang aku punya teman, Eomma, dia baik sekali. Aku memanggilnya Oppa. Senang sekali bisa memiliki seorang kakak laki-laki,” disambung dengan celoteh panjang Ren, sampai ia merasa lelah dan kantuk pun menyergap.

Selanjutnya yang terdengar hanyalah embusan napas milik mereka berdua.

###

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Another Story of Ren Yeon Bab 1

Another Story of Ren Yeon Bab2 Part 3

Another Story of Ren Yeon Bab 4 Part 2